Cari Blog Ini

Kamis, 18 Oktober 2012

Biaya atau Jasa Fotografi digital itu mahal ya?


>Demikianlah sebuah pertanyaan yang sudah tidak asing lagi bagi para pelaku usaha jasa Fotografi, yang kerap dilontarkan oleh calon konsumen saat bernegosiasi.

Bahkan lebih sering lagi jika dilanjutkan dengan kalimat, “Kan sekarang udah jaman digital, udah ga pake film lagi”. (Saya sendiri baru tadi malem ditanyain begini sama calon konsumen, hehehehe… ^^).
Untuk menjawabnya, mungkin akan lebih mengena jika pembaca saya ajak mengenal dunia bisnis Fotografi. Dengan sebagian menitikberatkan pada bidang yang sedang tren saat ini, Jasa Fotografi Acara/Event.
PENDAHULUAN
Fotografi masih menjadi primadona utama dalam bidang dokumentasi Event/Acara, Promosi, Iklan dan lain sebagainya..
Tanpa bermaksud mengecilkan Media Dokumentasi lain, sebuah Foto dalam komposisi & teknis yang tepat dari sebuah momen Acara, mampu “berbicara” lebih kuat daripada Media lain.
Foto juga dianggap lebih mudah dipresentasikan kepada pihak lain. Misalnya (yang paling sering) foto Pernikahan, Selametan, Kelahiran sampai promosi Produk. Cukup dengan memperlihatkan beberapa lembar cetakan yang bermuatan Foto (Katalog, Flyer, Banner dll), orang sudah bisa mengerti apa maknanya gambar-gambar tersebut. Tanpa harus menggunakan alat presentasi khusus, kita sudah bisa bercerita panjang lebar mengenai peristiwa yang terekam dalam foto2 tersebut.
PELAKU BISNIS FOTOGRAFI
Bicara mengenai Usaha Jasa Fotografi, berarti kita bicara mengenai Bisnis. Dan bicara mengenai Bisnis, berarti berbicara mengenai dua poin penting : Modal dan Untung, atau Rugi dan Laba.
Bisnis atau usaha yang baik, pasti berawal dari Modal yang cukup dan berakhir dengan Untung yang mengembalikan Modal awal. Istilah kasarnya, “Minimal balik modal, deh..”
Kalau boleh saya menggolongkan, pelaku bisnis Fotografi terdiri dari 3 golongan :
1. Professional
Adalah mereka yang 100% menggantungkan hidup dari mencetin shutter. Bagi golongan ini, Untung & Rugi harus jelas. Memiliki semangat, “Harga tidak pernah bohong”. Apa yang anda bayarkan, itulah yang anda terima. Semakin tinggi modal yang berani anda keluarkan, semakin tinggi kualitas hasilnya. Baik foto maupun kemasannnya. Terlebih ditunjang dengan pengalaman Fotografi yang sangat mumpuni, baik konsep, komposisi maupun tehnik. Kemampuan Improvisasinya jangan ditanya. Dalam kondisi apapun, kalo motret pasti bagus meski dengan alat seadanya.
2. Semi-Professional
Pada golongan ini, Jasa Fotografi adalah penghasilan sekunder/tambahan. Secara prinsip usaha, sama dengan golongan pertama. Hanya saja karena antar Vendor/Penyedia Jasa memiliki kualitas beragam, maka calon konsumen harus jeli dalam memilih kesesuaian antara harga yang ditawarkan dengan kualitas foto yang dihasilkan. Begitu juga dengan kemampuan Konsep, Komposisi, Tehnik & Improvisasi (KKTI).
3. Hobbist
Pada golongan ini, Fotografi adalah hobi dan kesenangan. Umumnya tidak memikirkan antara Untung dan Rugi. Dikasih, syukur. Kalo ngga, Ya udah… Secara kualitas, umumnya agak berbeda dengan golongan kedua. Mengapa ? Pengalaman adalah salah satu kunci utama yang harus dimiliki pelaku Bisnis Fotografi. Dan pada golongan ini, biasanya pengalaman yang diperlukan untuk bisnis Fotografi terbilang minim.
YANG DIPERHITUNGKAN DALAM MENENTUKAN HARGA JASA FOTOGRAFI
Setelah mengenal tipe pelaku Usaha, kini kita berbicara mengenai hal-hal yang menjadi modal utama Usaha Fotografi dan dampaknya pada harga Jasa yang harus dibayar oleh konsumen.
Setiap usaha tentunya memerlukan Modal. Semakin besar Modal yang dikeluarkan, semakin besar pula Laba yang diharapkan demi menutup Modal
Nah, apa saja yang harus diperhitungkan dalam dunia Jasa Fotografi ?
1. PENGALAMAN
Adalah modal utama yang harus dimiliki, yang berkaitan erat dengan KKTI. Siapapun saat ini bisa belajar mengenai Prinsip Dasar Fotografi dimana saja. Kuliah Sarjana, Kursus Fotografi hingga sekedar nanya di Komunitas Fotografi. Ditambah dengan harga peralatan Fotografi amatir yang sekarang ini semakin terjangkau, seolah melengkapii Booming Tren Fotografi selama 8 tahun terakhir ini.
Tapi seperti yang dikatakan oleh seorang Maestro Foto Indonesia, “Sekolah adalah hanya langkah awal. Setinggi apapun gelar atau ilmu yang didapat, tetap hanya merupakan ilmu dasar Fotografi. Hanya bagaimana supaya Kamera bisa menghasilkan gambar yang pas. Tidak terlalu gelap (Under Exposure), tidak terlalu terang (Over Exposure), tidak terlalu miring, tidak terlalu burem dan lain-lain.
Sementara Konsep, Komposisi, Tehnik & Improvisasi (KKTI) adalah langkah lanjutan yang tidak bisa diajarkan oleh siapapun. Keempatnya hanya bisa didapat melalui Latihan & Pengalaman Mandiri”.
Pengalaman. Adalah modal utama & termahal yang dimiliki oleh seorang Fotografer. Maka tidak jarang ada Fotografer yang mematok harga tinggi untuk karyanya. Karena merupakan hasil dari mencari pengalaman bertahun-tahun bergelut di Fotografi. Semakin berpengalaman seorang Fotografer, semakin mahir ia beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Ketika menghadapi kendala, ia tidak akan bingung dan mahir berimprovisasi. Kekurangan menjadi kelebihan, inilah yang menjadi perbedaan antara Pemula & Berpengalaman.
2. ALAT YANG MEMADAI
a. BODY KAMERA
Seperti pada judul tulisan ini, poin ini selalu menjadi perbincangan seru antara Penyedia Jasa & Konsumen. Betul sekali kalau saat ini harga alat-alat Fotografi sangat terjangkau. Terlebih dengan kemajuan Teknologi Digital, yang menghilangkan ketergantungan sang Fotografer dalam menghitung jumlah film tersisa, seperti tahun-tahun dahulu. Jika dulu kalau mau foto harus itung2an jumlah film, kini bisa dilakukan sekuatnya. Kalo nyanggup bergaya sampe 500 shot, ya hayu aja…
Tapi kenapa koq harga Jasa Fotografi tetap mahal ? Padahal sudah tidak menggunakan Roll film & harga Kamera cukup murah? Salah satu penyebabnya adalah ongkos Pemeliharaan Alat yang harus diperhitungkan. Kamera Digital mempunyai kelemahan dalam soal umur, karena Mekanismenya digerakan secara Elektronik. Sama seperti Komputer, Hape, Kalkulator dan sebagainya. Suatu saat akan mengalami “Keausan” Komponen setelah sekian lama pemakaian rutin. Belum lagi wilayah kerjanya yang kadang bersinggungan dengan alam. Masuk debu, kena ujan, tergoncang, suhu lembab dan lain-lainl, turut mempengaruhi umur komponen di dalamnya. Berbeda dengan Kamera Analog, yang digerakan secara mekanik. Umurnya lebih panjang dan lebih tahan “banting” (meski kalo dibanting beneran, ancur juga sih…hehehehe). Apalagi jika dirawat dengan baik, dalam 20 tahun ke depan masih bisa dipake motret (asal media filmnya masih produksi aja…).
Umumnya kamera Digital SLR memiliki umur antara 100.000 – 200.000 shot (Shutter Count. Untuk Kamera Compact umurnya lebih pendek lagi, sekitar 50.000 shot). Jika pemakaian sangat aktif, seperti pada Fotografi Pernikahan atau Dokumentasi Acara, kurang lebih umur maksimum tercapai dalam 2-3 tahun penggunaan. Lebih dari itu, biasanya muncul penyakit yang cukup mempengaruhi kualitas Foto. Dari sekedar susah njepret, Fokus mogok sampai Sensor Kamera yang protes minta pensiun…gambarnya jadi banyak warna aneh atau burem.
Sehingga wajar jika sang Fotografer harus bersiap menghadapi pilihan antara memperbaiki atau membeli Body Kamera (baru atau second) dalam jangka 2-3 tahun masa kerjanya. Dan ini adalah Rugi nan Abadi. Dalam arti akan selalu ada pengeluaran biaya untuk hal ini, selama ia mau berbisnis. Karena ketika kamera “meninggal” & tidak ada penggantinya, otomatis tentu tidak ada pemasukan….yang bisa berujung dengan bangkrutnya usaha yang telah dirintis dengan susah payah.
Sering para Sepuh Bisnis memberi petuah, “Ketika memberikan harga, hitung 50%-nya untuk Alat. Karena tanpa alat, bisnis kamu akan mati” Contohnya, untuk sebuah Body kamera DSLR Semi-Pro saat ini berkisar antara 8 – 17 juta Rupiah. Artinya, dalam 2-3 tahun harus sudah terkumpul 8-17 juta Rupiah hanya untuk persiapan mengganti Body lama. Bahkan kalau bisa lebih, supaya bisa meningkatkan kualitas (Tentunya kita tidak ingin membeli barang baru, tapi sejenis dengan barang lama yang kita punya).
Inilah salah satu poin penting dalam menentukan harga Jasa Fotografi.
b. LENSA
Lensa sudah pasti menentukan kualitas dari Foto yang dihasilkan. Harga tidak pernah bohong untuk benda yang satu ini. Meski saya tidak menyangkal, bahwa hanya dengan lensa Kit/bawaan saja kita sudah bisa menghasilkan Foto yang bagus. Namun dalam kondisi tertentu kita membutuhkan Lensa berkualitas Primer untuk menangkap gambar yang diinginkan.
Deep Macro/Micro, Deep DOF, Perspective dan Steady Exposure adalah beberapa contoh tehnik Fotografi yang sulit dihasilkan dari Lensa Kit biasa. Diperlukan Lensa khusus, yang tentunya memerlukan lebih banyak Rupiah untuk menebusnya. Dan untuk sebuah Lensa berkualitas Primer, bisa seharga 2-3 Body Kamera baru (bisa dilihat di Katalog alat Fotografi manapun untuk membuktikannya). Nah, berarti kembali lagi harus menyisihkan sekian persen dari “Pendapatan” untuk tujuan ini. Dan juga untuk siap-siap seandainya si Lensa perlu “Opname” karena Jamur, Baret, Mogok Kerja dan lain sebagainya.
c. ASESORIS LAIN
Dibutuhkan juga Asesoris tambahan demi menunjang proses pengambilan yang baik & benar. Seperti misalnya Flash Tambahan/Lampu Blitz, yang sangat signifikan untuk proses foto dalam ruangan atau cahaya redup. Saya tidak terlalu menitikberatkan pada poin ini. Karena untuk memenuhi kebutuhan akan Asesoris ini, kadang tidak diperlukan barang yang “bermerk”. Dengan merk “miring-miring” atau alat ciptaan sendiri pun masih bisa dihasilkan foto yang baik. Namun tentu saja biaya penggunaannya juga harus diperhitungkan.
Misalnya foto untuk Profil Perusahaan, tentunya memerlukan perangkat Cahaya tambahan yang lebih dari sekedar lampu Blitz biasa. Jika tidak punya, maka menyewa. Jika menyewa, maka kudu bayar. Dan akhirnya, termasuk dalam biaya modal awal.. ^^
3. PRODUKSI
a. LOKASI
Misalnya untuk Foto Prewedding, lokasi turut menentukan hasil akhir yang dicapai (yang tentunya diperlukan juga kepiawaian dalam memadukan antara Konsep, Kostum dan Lokasi). Misalnya, Foto yang diambil di halaman sekitar rumah, tentu berbeda suasana dengan yang diambil dalam Taman Wisata Kebun atau Pantai (kecuali kalo punya halaman rumah segede Taman Wisata kali yaa…).
Namun yang menjadi kendala, di Indonesia ini bisa dibilang nyaris tidak ada yang gratis. Berfoto di lokasi strategis manapun, pasti harus bersiap dengan “Puluhan Ribu” demi Pungli & Preman, baik Negeri maupun Swasta. Jangankan di Taman Wisata, di ruang Publik dan Taman Kota aja, yang seharusnya bebas digunakan oleh Masyarakat, tetap musti siap “Sesajen” buat para “Jin” disana. Apalagi jika ingin berfoto di lokasi yang Eksotik, seperti Mall, Hotel, Cottage atau rumah Gallery. Maka siap-siap aja merogoh kocek hingga Jutaan rupiah.
Kecuali kalo calon Pengantin bersedia masuk ke dalam pelosok negeri demi mendapat sedikit pemandangan alam khas Indonesia. Yang tentunya gratis untuk wilayah yang sama sekali belum tersentuh manusia. Tapi itupun masih memerlukan biaya Transportasi & Akomodasi untuk pergi ke sana, bukan? Intinya, semakin indah lokasi yang diinginkan, ya semakin ada biayanya…
Mungkin ada yang berpendapat, ” Kalau soal latar belakang foto, kan bisa diedit dengan Komputer ?” Betul sekali, bisa. Namun keaslian dan perasaan megah saat melihat foto yang dibuat di lokasi aslinya masih sulit ditandingi oleh keajaiban Teknologi Olah Digital. Sebagus-bagusnya alam ciptaan Komputer, tetap masih lebih sempurna alam ciptaan Tuhan. Baik perpaduan Cahaya, Bayangan, Warna, Bentuk dan lain sebagainya.
b. KONSEP DAN TEMA
Umumnya fotografer yang baik, akan mencari konsep yang disesuaikan dengan karakter dari pasangan klien. Pengenalan terhadap karakter sangat ditentukan dari pengalaman fotografer yang harus bisa melihat karakteristik baik sifat ataupun fisik dari pasangan tersebut.
Seorang fotografer tentunya akan dapat membayangkan hasil akhir dari karyanya, dan untuk mencapai hasil seperti yang diinginkan diperlukan kesesuaian tema dan konsep dengan karakteristik dari pasangan pengantin. Semakin tinggi pengalaman seorang fotografer, akan semakin mudah dia untuk dapat melihat karakter dari pasangan hingga menentukan konsep yang baik akan lebih cepat dimana konsep ini disesuaikan dengan karakter ataupun kondisi fisik pasangan.
Konsep sendiri turut menyumbang dalam menentukan jumlah biaya yang harus dikeluarkan dalam produksi foto. Semakin rumit Konsep yang diminta, semakin banyak Property yang diperlukan. Misalnya, foto yang berkonsep mengenai Pilot Pesawat Komersil, tentu memerlukan biaya yang lebih mahal dari foto Pembalap Sepeda. 
4. PASCA PRODUKSI
a. PROSES EDITING
Foto digital, dari manapun sumbernya, memerlukan sentuhan editing untuk menyempurnakan hasilnya. Minimal mengkoreksi Contrast & Brightness. Kalau cuman 1-2 foto aja, mungkin bukan hal yang rumit. Bisa diselesaikan dalam 10 menit. Tapi jika berhadapan dengan 400 – 500 foto ? Bisa abis 60-80 jam untuk mengkoreksinya. Alias 7-10 hari dalam 8 jam kerja rutin. Itupun dalam arti Editing koreksi biasa.
Jika membuat Kolase, Olah Digital dan sebagainya, 1-2 foto pun bisa lebih dari 1 jam. Apalagi kalo puluhan foto, bahkan ratusan. Sebagai gambaran, mungkin saya bisa memberi contoh berdasarkan pengalaman.
Tahun lalu saat meliput sebuah acara Pernikahan, saya sudah menduga ada yang kurang beres dengan Tata Rias Pengantin Wanitanya. Ternyata benar, dipertengahan acara Make-Upnya agak drop. Sehingga muncul noda-noda Jerawat yang awalnya tersembunyi dibalik Bedak. Ada sekitar 326 foto yang memperlihatkan para Jerawat itu, baik Medium Shot maupun Close Up. Alhasil, dibutuhkan waktu nyaris 3 minggu lebih untuk menghapus Jerawat dari ke-326 foto tersebut.
Inilah yang dilakukan sang Fotografer pada jaman Digital ini. Bahwa proses Fotografi tidak berhenti setelah sesi Pemotretan selesai, namun masih berlanjut ke hari-hari berikutnya. Hal tersebut sebenarnya merupakan keuntungan. Karena berarti sang Fotografer dapat menuangkan segala ide yang ada, demi terciptanya sebuah karya foto yang 100% mencerminkan jiwa seni sang Pemotret. Ibarat Pelukis, ia bertanggung jawab pada proses penciptaan. Sejak hanya berupa kertas kosong, hingga menjadi Lukisan yang indah.
(Hal ini berbeda dengan jaman Kamera Analog. Dimana setelah sesi pemotretan, sang Fotografer terpaksa menyerahkan sepenuhnya proses Pasca Produksi {Cuci-Edting-Cetak} pada Lab. Foto. Bukannya saat itu para Fotografer malas berproses. Tapi karena biaya kepemilikan sebuah Mesin Lab foto bisa diartikan sama aja membeli Rumah. Tidak semua Fotografer sanggup membelinya.)
Dan dimanakah proses editing ini dilakukan ? Tentunya menggunakan alat yang bernama Komputer. Dan seperti alat Elektronik lainnya, Komputer ini juga punya jangka waktu pemakaian yang patut diperhitungkan. Meski tidak mudah rusak, tapi biaya operasional, listrik dan lama kerja olah Foto harus dihitung sebagai biaya Produksi.
Maka tepatlah apa yang sering dicamkan oleh para Pakar Ekonomi, ” Modal sekecil apapun harus diperhitungkan dalam meraih Laba”.
b. HASIL AKHIR
Hasil akhir sebuah Foto bisa berbentuk apa saja yang diinginkan Konsumen. Apakah itu Album Foto, Flyer, Billboard, Katalog, Poster dan lain sebagainya. Tentu saja masing-masing memiliki harga tersendiri. Dan apakah nantinya diambil langsung atau mau di kirim keluar daerah ? Jika akan dikirim keluar daerah, tentu ada biaya pengirimannya.
Kira-kira demikianlah uraian saya mengenai dunia bisnis Fotografi Digital. Di balik kemudahannya, ternyata tersimpan sejumlah kerumitan di belakangnya. Namun bukan berarti bahwa untuk bisa mendapatkan Jasa Fotografi bagus harus mempersiapkan biaya mahal. Hanya saja dalam poin tertentu, kita tidak bisa menutup mata pada kenyataan, bahwa ada korelasi antara Modal yang dikeluarkan dengan Hasil yang didapat.
“Semurah apapun barang kelas satu, tetap kualitasnya tidak akan pernah bisa ditandingi oleh barang termahal kelas dua”.
Sekian dan Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar